Berpuisi ialah salah satu aktivitas yang kusuka. Bertemu dengan puisi tentang hujan dan senja tempo hari, jadi inspirasiku untuk menulis ini. Pemirsa, kaukah yang punya kesukaan yang sama?
Tiap karya punya khas, begitupun puisi hingga puisi nuansa senandika yang di bawah. Cocok jadi teman baca kala kamu ingin berpuisi ria.
Hm, merekam suara sendiri di perangkat digital milik pribadi, juga jadi salah satu kegiatan penghibur bagi penikmat seni yang satu ini. Lalu, membaca atau mendengar karya orang lain, jadi trigger tuk menulis kata demi kata setelahnya.
Oh ya, hujan dan senja memang punya visualisasi tersendiri di masing-masing kepala, ya. Jadi, jangan kaget bila ada titik pahit dari rasa manis, ketakutan yang semua orang punya, juga rasa yang menggelora dari ujung kaki hingga ujung kepala, hehe.
So, berikut puisi tentang hujan dan senja yang kaya diksi. Ada yang masih hangat, karena baru dibuat. Ada yang sudah dingin, karena di etalase bermusim-musim. Selamat menikmati sajian sederhana ini~
Rintik menggodaku
Gemercik merangkulku
Sementara jejakmu
Tak lagi kutahu
Kau hilang bersama senja
Jadikanku Si Malang tanpa daya
Kau pamit tanpa kata
Sisakan pahit tanpa jeda
Kau tahu? Kala hujan mencumbu
Senyumnya, bayang senyummu
Tatapnya, sorot matamu
Sentuhnya, desir kau dan aku
Jika potret aesthetic yang kau incar
Kau gagal besar
Takkan kupilih tinggal
Biar egomu saja yang tanggal
Sukabumi, 25 Juni 2022
Teduh suaramu tarik damai
Sumpal hujan angin senja ini
Gemuruh di luar terdampar
Gemuruh di dalam menyambar
Kita duduk sama rata
Minum teh di cangkir serupa
Tertera namaku dan namamu
Tertulis tahun 2021
Katamu, ragu tersingkir
Dua insan, satu takdir
Sepi bukan tamu abadi
Teman bincang hadir di sisi
Dahaga, didatangi minuman
Lapar, disambangi makanan
Dingin, diselimuti dekapan
Mana surga? Bukan pertanyaan
Sukabumi, 25 Juni 2022
Senyum melintas
Angan lepas landas
Sekotak kenang di atas meja
Berisi senja ujung cerita
Bohong jika tak ada hujan
Gemawan kiri kanan
Kabut hitam muncul dari celah
Sisi kelam jadi pemisah
Hujan dan senja tak tertandingi
Awan dan kabutnya racun harmoni
Biar kotak dipandang jauh
Agar Bunga tiada melepuh
Biar yang lalu sampai di sini
Agar merpati terbang tinggi
Bagi indah pada bola mata
Aku dan kamu di jalan berbeda
Sukabumi, 25 Juni 2022
Potret dua manusia tepi sungai
Riang canda melambai-lambai
Celoteh kemana-mana
Hingga senggol rahasia
“Di sana kita kan tinggal!”
“Begini berjalannya hari!”
Berseri-seri dalam telunjuk
Berseru sambil berpeluk
Tidakkah terlalu rapi?
Satu, dua, tiga, mau antre
Dasar remaja haha-hihi
Banyak tak tahu, tapi banyak mau
Sudah begini, tahu sendiri
Gores takdir tak wara-wiri
Rencana dahulu, peramai senja
Jalan hidup, hujani semua
Sukabumi, 25 Juni 2022
Oleh: @r_maria_ulfah
Butir yang jatuh terdengar meriah di telinga.
Suasana bak sepi seketika.
Dingin? Tentu terasa.
Dan kau berkata: "ini buatmu tak ingin kemana-mana!"
Butir yang jatuh temani awal hari.
Ada yang membeku, ada yang berseri.
Ada yang memeluk, ada yang tertunduk.
Bersinergi bak udara dan gerak.
Butir yang jatuh beragam sumbernya.
Dari langit yang jauh jaraknya.
Dari suatu indera yang kita bawa kemana saja.
Mereka tiada hentinya beratraksi pada semesta.
Butir yang jatuh,
genangan yang tersisa,
nada-nada alamiah yang menggema,
menaruh jutaan pesan yang belum terbaca.
Sukabumi, 27 Januari 2021
(Saat hujan sama-sama turun di langit yang kita tatap sama-sama)
Oleh: @r_maria_ulfah
Senja hampir datang, tapi sebagian diri masih saja belum pulang. Kuketuk-ketuk, kupanggil-panggil, kubisikan rayuan, tapi bukan itu cara yang membuatnya tenang.
Layu. Sendu.
Hari berjalan panjang sekali. Setiap detiknya bak bertambah berkali-kali. Telah banyak hal yang coba dijalani, tapi sepertinya perlu sedikit lagi ke tepi.
Semua ada momennya. Meski tak ingin merasakan, kita tetap dipertemukan.
Down. Up.
Begitulah kehidupan. Apapun keadaannya, senyum masih bisa ditata. Semua tentang pilihan, untuk larut atau memecahkan kebekuan.
Rasakan dinginnya terlebih dahulu. Biarkan semuanya mengalir ke urat nadimu.
Air mata jangan kau tahan. Ia salah satu obat yang melegakan. Ambil setiap makna. Bersimpuh pada yang Kuasa.
Wahai diri...
Segeralah pulang. Kau perlu siapkan bekal, sebelum berpulang.
Sukabumi, 21 Oktober 2020
Malam ini rembulan tak hadir...
Apakah ia tahu duniaku sedang menyingkir?
Bak hujan di malam ini.
Turun tanpa diminta,
Di pojok sana, logika tak mau ambil pusing. Ia membelakangi kami tanpa berbasa-basi. Katanya, sudah cukup apa yang dilihatnya. Tak perlu menceburkan diri pada topik yang membuat kita kehilangan arti.
Ah, ia memang begitu. "Tapi, apa yang dimaksud kepekaan?"
Hati tiba-tiba datang. Katanya, seberapa panjangpun ia menjelaskan, jawabannya takkan pernah memuaskan. Standar tiap orang berbeda, kapasitas berbeda, cara penyikapan berbeda, mana mungkin hanya karena kata semua menjadi sama rata.
Ok, aku terima. "Namun, seberapa penting kejujuran?"
Mereka serempak menjawab. "Tak bisa diukur" Mereka bertanya balik, "mengapa mesti tak jujur?"
Hujan menenangkan. Katanya, pejamkan dulu kedua mata itu. Pergilah ke alam bawah sadar. Lihatlah dirimu tanpa bertatar. "Lalu, apa yang bisa kau bawa pulang?"
Sukabumi, 19 Oktober 2020
Di sini, kita berbeda.
Saat ini, inilah yang kita rasa.
Hujan bagimu ketenangan. Ia memperlambat laju. Ia menyeret makhluk bumi ke rumahnya dulu. Di setiap rintiknya, kenangan demi kenangan berdatangan. Di situasi itu pula, makna pertemuan lebih terasa.
Sementara bagiku, hujan tak lebih dari sekadar pembawa dingin. Langit menggelap. Ada bagian yang ikut kalap. Di setiap tetes yang turun, bak tangisan meraung.
Senja favoritmu. Warna-warni yang yang tersuguh, mampu membuatmu luluh. Redupnya mampu mencuri perhatianmu. Perasaan menggebu itu, tergambar jelas dari nada suara yang tak pernah jatuh. Meski sekejap, kau tak pernah lelah menemuinya.
Untukku, senja terlalu jahat. Ia indah, tapi terburu-buru lewat. Sesekali kuberpapasan dengannya, tak banyak yang yang kutangkap, selain transisi menuju hari yang kian gelap.
Kamu suka kopi. Tonjokan kafeinnya yang paling kamu minati. Menjadi amunisi. Menjadi sesuatu yang paling kamu cari. Walau ada masalah dengannya, kau mencari segenap cara tuk menikmatinya. Tak bisa berhenti. Terlalu kuat kesan yang ia beri.
Sementara bagiku, kopi dan segala hal tentangnya tak berbekas banyak. Hanya satu, mual rasanya menyuruput ia menari-nari dalam cangkir, walau banyak orang yang mengelu-elukannya sebagai teman berpikir.
Sukabumi, 29 Oktober 2020
Ini aku, bukan saya.
Ini masih tentang kita, bukan hal asing yang baru dicoba.
Tenang saja, kali ini aku takkan menyalahkan diri sendiri. Kutahu, kamu tak suka aku yang begitu.
Di luar, hujan turun tiba-tiba, ia merayuku untuk ikut menari bersamanya. Bersama rintik yang yang semakin menjerit, bersama suara gaduh yang semakin bergemuruh.
Hampir saja aku terayu, sebelum akhirnya kusadari, ini bukan kisah dramatis yang didominasi sedih.
Aku berterima kasih padanya yang ada saat ku tak kuasa. Aku berterima kasih karena sebagian dirimu yang kurang sinkron denganku, bertemu tempat yang tepat. Aku berterima kasih karena kau masih terbuka menceritakan banyak hal, karena itu pertanda kedekatan di matamu. Kau tak berubah. Aku kagum atas hal itu.
Dengarlah, ternyata aku pun belum banyak berubah. Aku ingin sekali, bahkan lebih dari ingin. Namun, nyatanya ada sisi di dalam sana, yang semakin lama semakin mencari perhatian. Ingin ditunjukkan, ingin diperlihatkan. Hal yang kurasa sebagai candaan, akhirnya ia meluap tanpa batasan.
Maafkan aku, yang telah memperdengarkan sesuatu yang kurang kau suka.
Maafkan aku, yang belum fasih memilah seperti apa situasinya.
Kau dalam masa pemulihan, dan rasaku malah berterus terang. Aku benci aku yang begini. Tapi tetap saja, ia masih bagian dalam diri yang jadi PR untuk terus diperbaiki.
"Kau baik-baik saja?" Kuharap begitu
"Tunggu sekejap yaa, semuanya baik-baik saja"
Sukabumi, 3 Oktober 2020
Tiap karya punya khas, begitupun puisi hingga puisi nuansa senandika yang di bawah. Cocok jadi teman baca kala kamu ingin berpuisi ria.
Hm, merekam suara sendiri di perangkat digital milik pribadi, juga jadi salah satu kegiatan penghibur bagi penikmat seni yang satu ini. Lalu, membaca atau mendengar karya orang lain, jadi trigger tuk menulis kata demi kata setelahnya.
Oh ya, hujan dan senja memang punya visualisasi tersendiri di masing-masing kepala, ya. Jadi, jangan kaget bila ada titik pahit dari rasa manis, ketakutan yang semua orang punya, juga rasa yang menggelora dari ujung kaki hingga ujung kepala, hehe.
So, berikut puisi tentang hujan dan senja yang kaya diksi. Ada yang masih hangat, karena baru dibuat. Ada yang sudah dingin, karena di etalase bermusim-musim. Selamat menikmati sajian sederhana ini~
9+ Puisi Tentang Hujan dan Senja Spesial Untukmu
1. Hilang Bersama Senja
Oleh: @r_maria_ulfahRintik menggodaku
Gemercik merangkulku
Sementara jejakmu
Tak lagi kutahu
Kau hilang bersama senja
Jadikanku Si Malang tanpa daya
Kau pamit tanpa kata
Sisakan pahit tanpa jeda
Kau tahu? Kala hujan mencumbu
Senyumnya, bayang senyummu
Tatapnya, sorot matamu
Sentuhnya, desir kau dan aku
Jika potret aesthetic yang kau incar
Kau gagal besar
Takkan kupilih tinggal
Biar egomu saja yang tanggal
Sukabumi, 25 Juni 2022
2. Mana Surga?
Oleh: @r_maria_ulfahTeduh suaramu tarik damai
Sumpal hujan angin senja ini
Gemuruh di luar terdampar
Gemuruh di dalam menyambar
Kita duduk sama rata
Minum teh di cangkir serupa
Tertera namaku dan namamu
Tertulis tahun 2021
Katamu, ragu tersingkir
Dua insan, satu takdir
Sepi bukan tamu abadi
Teman bincang hadir di sisi
Dahaga, didatangi minuman
Lapar, disambangi makanan
Dingin, diselimuti dekapan
Mana surga? Bukan pertanyaan
Sukabumi, 25 Juni 2022
3. Racun Harmoni
Oleh: @r_maria_ulfahSenyum melintas
Angan lepas landas
Sekotak kenang di atas meja
Berisi senja ujung cerita
Bohong jika tak ada hujan
Gemawan kiri kanan
Kabut hitam muncul dari celah
Sisi kelam jadi pemisah
Hujan dan senja tak tertandingi
Awan dan kabutnya racun harmoni
Biar kotak dipandang jauh
Agar Bunga tiada melepuh
Biar yang lalu sampai di sini
Agar merpati terbang tinggi
Bagi indah pada bola mata
Aku dan kamu di jalan berbeda
Sukabumi, 25 Juni 2022
4. Remaja Haha-hihi
Oleh: @r_maria_ulfahPotret dua manusia tepi sungai
Riang canda melambai-lambai
Celoteh kemana-mana
Hingga senggol rahasia
“Di sana kita kan tinggal!”
“Begini berjalannya hari!”
Berseri-seri dalam telunjuk
Berseru sambil berpeluk
Tidakkah terlalu rapi?
Satu, dua, tiga, mau antre
Dasar remaja haha-hihi
Banyak tak tahu, tapi banyak mau
Sudah begini, tahu sendiri
Gores takdir tak wara-wiri
Rencana dahulu, peramai senja
Jalan hidup, hujani semua
Sukabumi, 25 Juni 2022
5. Sajak Hujan – Butir yang Jatuh
Oleh: @r_maria_ulfah Butir yang jatuh terdengar meriah di telinga.
Suasana bak sepi seketika.
Dingin? Tentu terasa.
Dan kau berkata: "ini buatmu tak ingin kemana-mana!"
Butir yang jatuh temani awal hari.
Ada yang membeku, ada yang berseri.
Ada yang memeluk, ada yang tertunduk.
Bersinergi bak udara dan gerak.
Butir yang jatuh beragam sumbernya.
Dari langit yang jauh jaraknya.
Dari suatu indera yang kita bawa kemana saja.
Mereka tiada hentinya beratraksi pada semesta.
Butir yang jatuh,
genangan yang tersisa,
nada-nada alamiah yang menggema,
menaruh jutaan pesan yang belum terbaca.
Sukabumi, 27 Januari 2021
(Saat hujan sama-sama turun di langit yang kita tatap sama-sama)
6. Perihal Pulang Sebelum Berpulang
Oleh: @r_maria_ulfah Senja hampir datang, tapi sebagian diri masih saja belum pulang. Kuketuk-ketuk, kupanggil-panggil, kubisikan rayuan, tapi bukan itu cara yang membuatnya tenang.
Layu. Sendu.
Hari berjalan panjang sekali. Setiap detiknya bak bertambah berkali-kali. Telah banyak hal yang coba dijalani, tapi sepertinya perlu sedikit lagi ke tepi.
Semua ada momennya. Meski tak ingin merasakan, kita tetap dipertemukan.
Down. Up.
Begitulah kehidupan. Apapun keadaannya, senyum masih bisa ditata. Semua tentang pilihan, untuk larut atau memecahkan kebekuan.
Rasakan dinginnya terlebih dahulu. Biarkan semuanya mengalir ke urat nadimu.
Air mata jangan kau tahan. Ia salah satu obat yang melegakan. Ambil setiap makna. Bersimpuh pada yang Kuasa.
Wahai diri...
Segeralah pulang. Kau perlu siapkan bekal, sebelum berpulang.
Sukabumi, 21 Oktober 2020
7. Malam-Air-Sepi
Malam ini rembulan tak hadir...
Apakah ia tahu duniaku sedang menyingkir?
Bak hujan di malam ini.
Turun tanpa diminta,
mengalir, tak terkendali jua...
Sepi menggerogoti...
hal yang menyilaukan hari,
akhirnya kembali menguras hati.
Ada banyak part yang ingin kubagi, tapi kemana tempat kembali?
Pintu sedang tertutup, tapi aku tetap ingin mengetuk...
Sukabumi, 2 Agustus 2020
Sepi menggerogoti...
hal yang menyilaukan hari,
akhirnya kembali menguras hati.
Ada banyak part yang ingin kubagi, tapi kemana tempat kembali?
Pintu sedang tertutup, tapi aku tetap ingin mengetuk...
Sukabumi, 2 Agustus 2020
8. Hardikan Halus Air Payau
Gemercik membisik. Sebelumnya ia sudah menyelisik. "Apa yang dicari? Kebenaran ataukah pembenaran?"Di pojok sana, logika tak mau ambil pusing. Ia membelakangi kami tanpa berbasa-basi. Katanya, sudah cukup apa yang dilihatnya. Tak perlu menceburkan diri pada topik yang membuat kita kehilangan arti.
Ah, ia memang begitu. "Tapi, apa yang dimaksud kepekaan?"
Hati tiba-tiba datang. Katanya, seberapa panjangpun ia menjelaskan, jawabannya takkan pernah memuaskan. Standar tiap orang berbeda, kapasitas berbeda, cara penyikapan berbeda, mana mungkin hanya karena kata semua menjadi sama rata.
Ok, aku terima. "Namun, seberapa penting kejujuran?"
Mereka serempak menjawab. "Tak bisa diukur" Mereka bertanya balik, "mengapa mesti tak jujur?"
Hujan menenangkan. Katanya, pejamkan dulu kedua mata itu. Pergilah ke alam bawah sadar. Lihatlah dirimu tanpa bertatar. "Lalu, apa yang bisa kau bawa pulang?"
Sukabumi, 19 Oktober 2020
9. Beda – Hujan, Senja, dan Kopi
Saat ini, inilah yang kita rasa.
Hujan bagimu ketenangan. Ia memperlambat laju. Ia menyeret makhluk bumi ke rumahnya dulu. Di setiap rintiknya, kenangan demi kenangan berdatangan. Di situasi itu pula, makna pertemuan lebih terasa.
Sementara bagiku, hujan tak lebih dari sekadar pembawa dingin. Langit menggelap. Ada bagian yang ikut kalap. Di setiap tetes yang turun, bak tangisan meraung.
Senja favoritmu. Warna-warni yang yang tersuguh, mampu membuatmu luluh. Redupnya mampu mencuri perhatianmu. Perasaan menggebu itu, tergambar jelas dari nada suara yang tak pernah jatuh. Meski sekejap, kau tak pernah lelah menemuinya.
Untukku, senja terlalu jahat. Ia indah, tapi terburu-buru lewat. Sesekali kuberpapasan dengannya, tak banyak yang yang kutangkap, selain transisi menuju hari yang kian gelap.
Kamu suka kopi. Tonjokan kafeinnya yang paling kamu minati. Menjadi amunisi. Menjadi sesuatu yang paling kamu cari. Walau ada masalah dengannya, kau mencari segenap cara tuk menikmatinya. Tak bisa berhenti. Terlalu kuat kesan yang ia beri.
Sementara bagiku, kopi dan segala hal tentangnya tak berbekas banyak. Hanya satu, mual rasanya menyuruput ia menari-nari dalam cangkir, walau banyak orang yang mengelu-elukannya sebagai teman berpikir.
Sukabumi, 29 Oktober 2020
10. Tak Kuterima Rayuan Hujan
Ini aku, bukan saya.
Ini masih tentang kita, bukan hal asing yang baru dicoba.
Tenang saja, kali ini aku takkan menyalahkan diri sendiri. Kutahu, kamu tak suka aku yang begitu.
Di luar, hujan turun tiba-tiba, ia merayuku untuk ikut menari bersamanya. Bersama rintik yang yang semakin menjerit, bersama suara gaduh yang semakin bergemuruh.
Hampir saja aku terayu, sebelum akhirnya kusadari, ini bukan kisah dramatis yang didominasi sedih.
Aku berterima kasih padanya yang ada saat ku tak kuasa. Aku berterima kasih karena sebagian dirimu yang kurang sinkron denganku, bertemu tempat yang tepat. Aku berterima kasih karena kau masih terbuka menceritakan banyak hal, karena itu pertanda kedekatan di matamu. Kau tak berubah. Aku kagum atas hal itu.
Dengarlah, ternyata aku pun belum banyak berubah. Aku ingin sekali, bahkan lebih dari ingin. Namun, nyatanya ada sisi di dalam sana, yang semakin lama semakin mencari perhatian. Ingin ditunjukkan, ingin diperlihatkan. Hal yang kurasa sebagai candaan, akhirnya ia meluap tanpa batasan.
Maafkan aku, yang telah memperdengarkan sesuatu yang kurang kau suka.
Maafkan aku, yang belum fasih memilah seperti apa situasinya.
Kau dalam masa pemulihan, dan rasaku malah berterus terang. Aku benci aku yang begini. Tapi tetap saja, ia masih bagian dalam diri yang jadi PR untuk terus diperbaiki.
"Kau baik-baik saja?" Kuharap begitu
"Tunggu sekejap yaa, semuanya baik-baik saja"
Sukabumi, 3 Oktober 2020
Baiklah, itu dia kumpulan puisi tentang hujan dan senja yang kushare kali ini. Lain kali, kutambahkan juga. Btw, kalau mau ikutan buat puisi boleh juga! Tulis aja di kolom komentar, nanti kubuat puisi balasan, hehehe. Bye!
puisinya bagus kak. aku juga suka hujan, tapi gak suka hujan-hujanan, hehehe.
BalasHapusAiiih, ia tapi gimana kalau hujan-hujanannya bareng si dia, terus momen hujan-hujanan itu ialah sesi pemotretan yang aesthetic tiada tara? Masih gak suka? Heheh
HapusSuka mbak kalau ada si dia nya mah wkwkwk
HapusPuisinya sangat indah. Pilihan diksinya juga selaras. Suka banget sama puisinya sangat menyentuh. Kalau liat hujan selalu membuat perasaan adem.
BalasHapusMmm mbak penganut hujan menenteramkan hehe
HapusMasyaAllah.. rimanya dapat, diksinya kaya dan kalo dibaca saat hujan pasti bikin suasana syahdu 😍
BalasHapusSudah dicoba? Terima kasih feedback positifnya mbak Yusriah :>
HapusSubhanallah indahnya ....kusuka puisi tentang hujan ....boleh dong .
BalasHapusBisa nih buat dikasih ke pacar yang ngeselin ini
BalasHapus