9+ Puisi Tentang Hujan dan Senja Kaya Diksi

8 komentar


Berpuisi ialah salah satu aktivitas yang kusuka. Bertemu dengan puisi tentang hujan dan senja tempo hari, jadi inspirasiku untuk menulis ini. Pemirsa, kaukah yang punya kesukaan yang sama?

Tiap karya punya khas, begitupun puisi hingga puisi nuansa senandika yang di bawah. Cocok jadi teman baca kala kamu ingin berpuisi ria.

Hm, merekam suara sendiri di perangkat digital milik pribadi, juga jadi salah satu kegiatan penghibur bagi penikmat seni yang satu ini. Lalu, membaca atau mendengar karya orang lain, jadi trigger tuk menulis kata demi kata setelahnya.

Oh ya, hujan dan senja memang punya visualisasi tersendiri di masing-masing kepala, ya. Jadi, jangan kaget bila ada titik pahit dari rasa manis, ketakutan yang semua orang punya, juga rasa yang menggelora dari ujung kaki hingga ujung kepala, hehe.

So, berikut puisi tentang hujan dan senja yang kaya diksi. Ada yang masih hangat, karena baru dibuat. Ada yang sudah dingin, karena di etalase bermusim-musim. Selamat menikmati sajian sederhana ini~



9+ Puisi Tentang Hujan dan Senja Spesial Untukmu


1. Hilang Bersama Senja

Oleh: @r_maria_ulfah



Rintik menggodaku

Gemercik merangkulku

Sementara jejakmu

Tak lagi kutahu



Kau hilang bersama senja

Jadikanku Si Malang tanpa daya

Kau pamit tanpa kata

Sisakan pahit tanpa jeda



Kau tahu? Kala hujan mencumbu

Senyumnya, bayang senyummu

Tatapnya, sorot matamu

Sentuhnya, desir kau dan aku



Jika potret aesthetic yang kau incar

Kau gagal besar

Takkan kupilih tinggal

Biar egomu saja yang tanggal



Sukabumi, 25 Juni 2022



2. Mana Surga?

Oleh: @r_maria_ulfah



Teduh suaramu tarik damai

Sumpal hujan angin senja ini

Gemuruh di luar terdampar

Gemuruh di dalam menyambar



Kita duduk sama rata

Minum teh di cangkir serupa

Tertera namaku dan namamu

Tertulis tahun 2021



Katamu, ragu tersingkir

Dua insan, satu takdir

Sepi bukan tamu abadi

Teman bincang hadir di sisi



Dahaga, didatangi minuman

Lapar, disambangi makanan

Dingin, diselimuti dekapan

Mana surga? Bukan pertanyaan



Sukabumi, 25 Juni 2022



3. Racun Harmoni

Oleh: @r_maria_ulfah



Senyum melintas

Angan lepas landas

Sekotak kenang di atas meja

Berisi senja ujung cerita



Bohong jika tak ada hujan

Gemawan kiri kanan

Kabut hitam muncul dari celah

Sisi kelam jadi pemisah



Hujan dan senja tak tertandingi

Awan dan kabutnya racun harmoni

Biar kotak dipandang jauh

Agar Bunga tiada melepuh



Biar yang lalu sampai di sini

Agar merpati terbang tinggi

Bagi indah pada bola mata

Aku dan kamu di jalan berbeda



Sukabumi, 25 Juni 2022


4. Remaja Haha-hihi

Oleh: @r_maria_ulfah



Potret dua manusia tepi sungai

Riang canda melambai-lambai

Celoteh kemana-mana

Hingga senggol rahasia



“Di sana kita kan tinggal!”

“Begini berjalannya hari!”

Berseri-seri dalam telunjuk

Berseru sambil berpeluk



Tidakkah terlalu rapi?

Satu, dua, tiga, mau antre

Dasar remaja haha-hihi

Banyak tak tahu, tapi banyak mau



Sudah begini, tahu sendiri

Gores takdir tak wara-wiri

Rencana dahulu, peramai senja

Jalan hidup, hujani semua



Sukabumi, 25 Juni 2022



5. Sajak Hujan – Butir yang Jatuh

Oleh: @r_maria_ulfah



Butir yang jatuh terdengar meriah di telinga.

Suasana bak sepi seketika.

Dingin? Tentu terasa.

Dan kau berkata: "ini buatmu tak ingin kemana-mana!"



Butir yang jatuh temani awal hari.

Ada yang membeku, ada yang berseri.

Ada yang memeluk, ada yang tertunduk.

Bersinergi bak udara dan gerak.



Butir yang jatuh beragam sumbernya.

Dari langit yang jauh jaraknya.

Dari suatu indera yang kita bawa kemana saja.

Mereka tiada hentinya beratraksi pada semesta.



Butir yang jatuh,

genangan yang tersisa,

nada-nada alamiah yang menggema,

menaruh jutaan pesan yang belum terbaca.



Sukabumi, 27 Januari 2021

(Saat hujan sama-sama turun di langit yang kita tatap sama-sama)


6. Perihal Pulang Sebelum Berpulang

Oleh: @r_maria_ulfah

Senja hampir datang, tapi sebagian diri masih saja belum pulang. Kuketuk-ketuk, kupanggil-panggil, kubisikan rayuan, tapi bukan itu cara yang membuatnya tenang.

Layu. Sendu.

Hari berjalan panjang sekali. Setiap detiknya bak bertambah berkali-kali. Telah banyak hal yang coba dijalani, tapi sepertinya perlu sedikit lagi ke tepi.

Semua ada momennya. Meski tak ingin merasakan, kita tetap dipertemukan.
Down. Up.

Begitulah kehidupan. Apapun keadaannya, senyum masih bisa ditata. Semua tentang pilihan, untuk larut atau memecahkan kebekuan.

Rasakan dinginnya terlebih dahulu. Biarkan semuanya mengalir ke urat nadimu.

Air mata jangan kau tahan. Ia salah satu obat yang melegakan. Ambil setiap makna. Bersimpuh pada yang Kuasa.

Wahai diri...
Segeralah pulang. Kau perlu siapkan bekal, sebelum berpulang.

Sukabumi, 21 Oktober 2020


7. Malam-Air-Sepi


Malam ini rembulan tak hadir...
Apakah ia tahu duniaku sedang menyingkir?
Bak hujan di malam ini.
Turun tanpa diminta,
mengalir, tak terkendali jua...

Sepi menggerogoti...
hal yang menyilaukan hari,
akhirnya kembali menguras hati.
Ada banyak part yang ingin kubagi, tapi kemana tempat kembali?
Pintu sedang tertutup, tapi aku tetap ingin mengetuk...

Sukabumi, 2 Agustus 2020


8. Hardikan Halus Air Payau

Gemercik membisik. Sebelumnya ia sudah menyelisik. "Apa yang dicari? Kebenaran ataukah pembenaran?"

Di pojok sana, logika tak mau ambil pusing. Ia membelakangi kami tanpa berbasa-basi. Katanya, sudah cukup apa yang dilihatnya. Tak perlu menceburkan diri pada topik yang membuat kita kehilangan arti.

Ah, ia memang begitu. "Tapi, apa yang dimaksud kepekaan?"

Hati tiba-tiba datang. Katanya, seberapa panjangpun ia menjelaskan, jawabannya takkan pernah memuaskan. Standar tiap orang berbeda, kapasitas berbeda, cara penyikapan berbeda, mana mungkin hanya karena kata semua menjadi sama rata.

Ok, aku terima. "Namun, seberapa penting kejujuran?"

Mereka serempak menjawab. "Tak bisa diukur" Mereka bertanya balik, "mengapa mesti tak jujur?"

Hujan menenangkan. Katanya, pejamkan dulu kedua mata itu. Pergilah ke alam bawah sadar. Lihatlah dirimu tanpa bertatar. "Lalu, apa yang bisa kau bawa pulang?"

Sukabumi, 19 Oktober 2020


9. Beda – Hujan, Senja, dan Kopi


Di sini, kita berbeda.
Saat ini, inilah yang kita rasa.

Hujan bagimu ketenangan. Ia memperlambat laju. Ia menyeret makhluk bumi ke rumahnya dulu. Di setiap rintiknya, kenangan demi kenangan berdatangan. Di situasi itu pula, makna pertemuan lebih terasa.

Sementara bagiku, hujan tak lebih dari sekadar pembawa dingin. Langit menggelap. Ada bagian yang ikut kalap. Di setiap tetes yang turun, bak tangisan meraung.

Senja favoritmu. Warna-warni yang yang tersuguh, mampu membuatmu luluh. Redupnya mampu mencuri perhatianmu. Perasaan menggebu itu, tergambar jelas dari nada suara yang tak pernah jatuh. Meski sekejap, kau tak pernah lelah menemuinya.

Untukku, senja terlalu jahat. Ia indah, tapi terburu-buru lewat. Sesekali kuberpapasan dengannya, tak banyak yang yang kutangkap, selain transisi menuju hari yang kian gelap.

Kamu suka kopi. Tonjokan kafeinnya yang paling kamu minati. Menjadi amunisi. Menjadi sesuatu yang paling kamu cari. Walau ada masalah dengannya, kau mencari segenap cara tuk menikmatinya. Tak bisa berhenti. Terlalu kuat kesan yang ia beri.

Sementara bagiku, kopi dan segala hal tentangnya tak berbekas banyak. Hanya satu, mual rasanya menyuruput ia menari-nari dalam cangkir, walau banyak orang yang mengelu-elukannya sebagai teman berpikir.

Sukabumi, 29 Oktober 2020


10. Tak Kuterima Rayuan Hujan


Ini aku, bukan saya.
Ini masih tentang kita, bukan hal asing yang baru dicoba.

Tenang saja, kali ini aku takkan menyalahkan diri sendiri. Kutahu, kamu tak suka aku yang begitu.

Di luar, hujan turun tiba-tiba, ia merayuku untuk ikut menari bersamanya. Bersama rintik yang yang semakin menjerit, bersama suara gaduh yang semakin bergemuruh.

Hampir saja aku terayu, sebelum akhirnya kusadari, ini bukan kisah dramatis yang didominasi sedih.

Aku berterima kasih padanya yang ada saat ku tak kuasa. Aku berterima kasih karena sebagian dirimu yang kurang sinkron denganku, bertemu tempat yang tepat. Aku berterima kasih karena kau masih terbuka menceritakan banyak hal, karena itu pertanda kedekatan di matamu. Kau tak berubah. Aku kagum atas hal itu.

Dengarlah, ternyata aku pun belum banyak berubah. Aku ingin sekali, bahkan lebih dari ingin. Namun, nyatanya ada sisi di dalam sana, yang semakin lama semakin mencari perhatian. Ingin ditunjukkan, ingin diperlihatkan. Hal yang kurasa sebagai candaan, akhirnya ia meluap tanpa batasan.

Maafkan aku, yang telah memperdengarkan sesuatu yang kurang kau suka.

Maafkan aku, yang belum fasih memilah seperti apa situasinya.

Kau dalam masa pemulihan, dan rasaku malah berterus terang. Aku benci aku yang begini. Tapi tetap saja, ia masih bagian dalam diri yang jadi PR untuk terus diperbaiki.


"Kau baik-baik saja?" Kuharap begitu
"Tunggu sekejap yaa, semuanya baik-baik saja"

Sukabumi, 3 Oktober 2020


Baiklah, itu dia kumpulan puisi tentang hujan dan senja yang kushare kali ini. Lain kali, kutambahkan juga. Btw, kalau mau ikutan buat puisi boleh juga! Tulis aja di kolom komentar, nanti kubuat puisi balasan, hehehe. Bye!

ultraulfa
Mencomblangi kamu berjumpa dengan diri idealmu~

Related Posts

8 komentar

  1. puisinya bagus kak. aku juga suka hujan, tapi gak suka hujan-hujanan, hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aiiih, ia tapi gimana kalau hujan-hujanannya bareng si dia, terus momen hujan-hujanan itu ialah sesi pemotretan yang aesthetic tiada tara? Masih gak suka? Heheh

      Hapus
    2. Suka mbak kalau ada si dia nya mah wkwkwk

      Hapus
  2. Puisinya sangat indah. Pilihan diksinya juga selaras. Suka banget sama puisinya sangat menyentuh. Kalau liat hujan selalu membuat perasaan adem.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mmm mbak penganut hujan menenteramkan hehe

      Hapus
  3. MasyaAllah.. rimanya dapat, diksinya kaya dan kalo dibaca saat hujan pasti bikin suasana syahdu 😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah dicoba? Terima kasih feedback positifnya mbak Yusriah :>

      Hapus
  4. Subhanallah indahnya ....kusuka puisi tentang hujan ....boleh dong .

    BalasHapus

Posting Komentar